Minggu, 08 Januari 2012

Diri Tak Pernah Berujung


Pagi Hampir Tiba
(Tai Kucing)

Andie sendirian dalam kamarnya yang sumpek, ia terlentang di atas kasur. Pikirannya teringat kembali pada kawan gilanya di Yogya.Vey. Mereka sudah lama sekali tak bertemu. Sambil merenung, tangan kanannya memegang rokok kretek murahan produk lokal daerahnya . Rokok itu tak dinyalakannya, tangan kirinya masih memegang sebendel kertas kiriman Vey yang datang siang tadi. Sebenarnya ia sedikit curiga mengira-ngira apa isi bendelan kertas tadi. “Propaganda gila apalagi ini,Vey ?”, tanya bathinnya. Perasaan malas karena badannya capek, juga tak selera membaca karena bendelan kertas itu lumayan tebal. Tapi, rasa penasaran lebih kuat menggumulinya. Malam makin larut namun matanya tak merasa ngantuk juga . “Ah, lebih baik kubaca saja tulisan orang sinting ini......” pikirnya, kemudian:


Tai kucing di atas kitab suci
Sindhu si Sesat, begitu orang-orang kampung Thol-kon menyebutnya. Seorang pemuda berbadan kurus berkulit hitam dan berambut panjang. Hidup sebatang kara dan tak jelas asal-usulnya. Sejak kecil ia di asuh Pak Lurah yang sekarang sudah almarhum. Kini Ia pengangguran , tapi dulu sempat juga menikmati pendidikan formal sampai kelas dua SMA sewaktu Pak Lurah masih hidup.

Sindhu terpaksa Drop Out dari sekolah karena tak mau menuruti keinginan Bu Kepsek untuk melayaninya di atas ranjang. Teman-temannya tak ada yang tahu kenapa ia keluar. Ia memilih untuk berhenti sekolah daripada harus berzinah dengan wanita setengah tua menor yang sudah mulai keriput dan lebih pantas dipanggil ibu oleh murid-muridnya .

Oh…kasihan, wanita tua malang yang gatal selangkangannya karena bermimpi mengais kembali masa mudanya.
Pemuda ini beranjak dewasa bersama pohon kelapa yang tumbuh di halaman belakang rumah Romo Albertus. Tempat di mana ia sering sendirian membaca, atau melamun dan berkhayal. Dia sama sekali tidak suka membaca buku-buku populer yang sedang nge-trend. Buku-buku yang dibacanya sedikit aneh dan menyimpang dari selera anak sebayanya. Itulah yang membuatnya nampak janggal di lingkungannya, misterius dan mencurigakan, karena mereka tak pernah tahu apa isi buku yang dibaca Sindhu. Yang mereka tahu judul buku itu “Apocalypse”, bersampul hitam dan tebal. Dari judulnya , pemuka spiritual kampung Tol_Khon langsung memvonis buku itu berbahaya.

Sindhu itu tidak waras dan harus diwaspadai karena sudah membacanya.
Sebenarnya kesesatan dan kegilaan Sindhu yang mencolok hanyalah tentang obsesinya untuk mencari persembunyian Tuhan . Melacak dan menyelidikinya merupakan sebuah ritual harian buatnya yang kemudian menjelma menjadi sebuah tata cara peribadatan baru dengan sendirinya . Sindhu adalah nabi sekaligus umat satu-satunya dari sebuah ajaran “Ketuhanan” baru yang terkonsep di otaknya sendiri.

Waktu kecil ia tak sempat menamatkan mengaji Juz-Ammanya, Karena Pak Ustadz Hamzah keburu meninggal sebelum ia Khatam dan tak ada Ustadz lain di desa Thol-kon setelah Hamzah. Lalu ia memilih untuk mengaji di Gereja Tua, tapi Sekolah Minggu di gereja juga tak bisa membimbing dan memuaskannya, tetap tak dapat menghentikan pencariannya, karena ia tak yakin Tuhan mewajibkannya melakukan semua itu. (alasan lainnya ialah malu karena Sindhu tak pandai bernyanyi).

Dalam pelacakannya, Sindhu pernah juga menyembah beberapa berhala, karena ia berpikir siapa tahu Tuhan bersembunyi di dalam salah satunya. Tapi, setelah membaca kisah tentang Ibrahim a.s. atau Abraham (begitu orang Nasrani menyebutnya), Ia berubah pikiran. Tak mungkin Tuhan berbuat sebodoh itu, bermain petak umpet dengan ciptaan-Nya sendiri. Seolah-olah mengemis kepada manusia dalam wujud batu berukir,dan patung-patung, menghiba meminta-minta untuk disembah. Betapa malasnya Dia kalau begitu.

Yach, walaupun Sindhu sendiri sebenarnya tahu kalau selera humor Tuhan itu sangat unik dan seringkali aneh untuk manusia. Buktinya Dia sering bermain-main dan bercanda ria dengan kenyataan, nasib, dan takdir manusia. Seperti nasib yang dialaminya kini , serba tak jelas.

But, It’s OK,Sindhu cukup senang dengan kondisinya sekarang, karena Ia dan Tuhan sudah merasa sangat akrab, dengan segala macam bentuk canda dan gurauan yang tak terbatas antara mereka berdua . dari jiwa ke jiwa. Rahasia dan Abadi dalam hati.

Namun, sebagai manusia biasa Sindhu juga sering merasa jengkel dan dongkol, jika keisengan dan ketengilanNya dirasa keterlaluan. Tapi mau bagaimana lagi, kelakuan Tuhan di mana-mana memang sering begitu. Agak sedikit nakal, kekanakan, ganjil, kadang juga kejam. Kalau sudah begini , Sindhu kepingin banget menjewer kuping Tuhan,Tapi Ia sendiri tak tahu bagaimana dan di mana letak kupingNya. Yang pasti menurut kitab suci manapun disebutkan : Tuhan itu Maha Mendengar, berarti Dia punya kuping, tapi bentuk dan letak kuping Nya entah di mana. Mungkin kuping Nya lebar seperti gajah, atau sekedar bolongan kaya kuping ayam dan aves lainnya, mungkin kupingNya nangkring di jidat, atau malahan nempel di pantat, ah entahlah ? Pusing sendiri Sindhu memikirkannya.Sebodo amat, itu-kan urusan Tuhan untuk menaruhnya, suka-suka Dia aja.
Kebiasaan Sindhu lainnya ialah berkeliaran mengunjungi tempat-tempat yang disebut-sebut sebagai rumah Tuhan di seantero kampung Thol-kon : kuil-kuil, masjid-masjid, gereja-gereja, atau tempat suci lainnya. Ia melakukan semua ini untuk mendekati Tuhan yang amat dicintainya. Sindhu sama sekali tak peduli dengan norma-norma sosial dan agama yang berlaku dalam tatanan masyarakat kampung Thol-kon. Ia berpendapat sendiri: Agama adalah semacam persepsi kolektif dari manusia yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan pembelengguan, pemasungan, perkosaan, penindasan terhadap alat kelamin manusia adalah hal yang paling benar dan paling bijaksana . Bahwasanya hal itu hanya menimbulkan perbuatan-perbuatan onani yang tak berkesudahan. Melakukan kesesatan-kesesatan tanpa batas yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi . Hancur sudah spiritualitas yang dikotak-kotakkan dalam dikotomi-dikotomi. Warisan turunan dari peradaban para kakek dan nenek moyang. Agama adalah sumber konflik utama paling mengerikan yang menghalalkan pembunuhan sadis dalam konteks pembelaan terhadap akidah -akidah . Alasan-alasan pembenaran dari kaum yang berkeimanan kerdil . Berperang sampai mati konyol hanya untuk membela Tuhan yang cuma ada satu dan mereka sembah bersama, hanya saja dengan cara yang berbeda. “Bodoh sekali mereka !”, begitulah pikir Sindhu.

Yang Sindhu tahu ia sudah bisa memeluk Tuhan dengan hangat, sebuah gelinjang yang bersinar, menerangi suatu tempat paling rahasia di hatinya. Dalam, sunyi, dan mesra.

Siang itu matahari terasa menggigit kulit, ketika sekumpulan orang dewasa menyalak-nyalak penuh amarah mendekati Sindhu. “Bunuh si Gembel kafir!!!”, seorang bapak-bapak gendut yang suka berjudi meneriakinya. (agar terlihat sedikit suci, mungkin).“Bakar saja ia yang suka melecehkan Tuhan !!”, yang lain menyahut berapi-api. Orang-orang kampung Thol-khon yang sudah lama tidak menyukai kelakuan aneh Sindhu ikut bergabung menyerbunya, sambil membawa benda apa saja yang sekiranya bisa dijadikan alat untuk menghajarnya. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang “saleh” yang seringkali memamerkan kesalehan mereka, hanya sekedar untuk mendapatkan pujian-pujian munafik dari kalangan yang mulutnya selalu menghembuskan kalimat-kalimat wangi, tapi berhati tengik dan busuk, sebusuk kubangan babi yang digunakan untuk mandi sekaligus kawin oleh binatang yang dagingnya diharamkan oleh umat Islam itu. Mereka adalah para pemeluk teguh karbitan yang khawatir dan was-was karena status-quonya akan terusik oleh “kemerdekaan spiritual” yang dianut Sindhu. Satu-satunya tindakan preventif adalah: Sindhu harus dilenyapkan!!!

Padahal Tuhan, Sang Penguasa Semesta Raya ini tak pernah merasa terganggu olehnya. Dia hanya diam dan membebaskan manusia dengan segala bentuk pilihannya masing-masing. Dia tahu semua isi otak dan hati manusia, Dia juga sering menyusup ke dalam jiwa dari beberapa manusia dalam situasi yang tak lazim. Karena Sindhu bukan Ibrahim a.s. yang tak mempan dibakar, juga bukan David Copperfield yang bisa menghilang di segitiga Bermuda, sudah tentu ia mati dihajar oleh orang sekampung yang sedang kalap. Sebelum dibakar sampai hangus, tubuhnya sudah remuk babak belur tak karuan, tercabik-cabik seperti kambing dan sapi qurban di Hari Raya Idul Adha .
Sekarang seonggok tubuh hitam legam itu nampak membujur kaku di atas sisa-sisa tumpukan kayu yang ber-evolusi hampir sempurna menjadi arang. Seulas senyum tulus menghiasi wajahnya yang nampak damai dalam penderitaannya.

Sedamai wajah Kristus di tiang penyaliban. Setulus senyum Muhammad ketika disiksa kaum kafir Quraisy.
Malam harinya orang-orang kampung Tolkhon terkejut karena tempat-tempat ibadah dan kitab-kitab suci mereka diserbu ratusan kucing yang entah dari mana asalnya, mereka seolah lahir dari rahim Sang Bumi dan keluar lewat vagina Sang Waktu, tanpa mengalami proses ovulasi, tanpa harus dibuahi sperma-sperma liar para pejantan kucing.
Mereka muncul begitu saja. Yang terjadi terjadilah!. Hanya dalam sekejap. Kucing-kucing itu dengan seenaknya berak di atas tempat-tempat suci dan benda-benda keramat yang diagungkan seluruh penduduk Thol-kon. Tai kucing ada di mana-mana. Di atas kemunafikan iman, Penyembahan atas semua kepentingan keduniawian, berkedok ayat-ayat suci, hadits, mazmur, tabliqh, dsb dsb bla bla bla bla bala bla, dan ....lalu kemudian mencetak para ahli Ekonomi Manajemen Pemasaran, yang sukses di bidang jual-beli Tuhan.

Setelah puas meninggalkan tai-tainya, kawanan kucing itu lenyap begitu saja seperti saat munculnya. Seakan mereka adalah mesin pembuat tai yang dikirim Tuhan sebagai kado untuk merayakan kemenangan rakyat Thol-kon atas Sindhu. Seolah mereka adalah orang-orang suci dari masa silam yang datang membawa pesanTuhan dan meninggalkan sesuatu yang dalam di hati penduduk Thol-kon.

Sementara itu Sindhu memandang trenyuh di balik awan hitam bersama makhluk-makhluk berpakaian putih, bersayap, dan bersinar terang . Mereka selalu siap menjaga, memeluk, dan menentramkannya. Mereka adalah kucing-kucing tadi. “Sudahlah Sindhu, mari kami antar ke Elysium”.
Sindhu cuma menurut.................................................

“The End”
“Bangsat kamu Vey!!”, Andie bergumam sendiri. Sebuah sindiran yang sempurna buat Andie. Vey memang pintar menyenangkan hati teman.
Malam hampir pagi ketika Andie selesai membaca cerita tadi Ia segera berangkat tidur dan terlelelap dengan hati lega . Setengah jiwa Andie adalah Sindhu , dan mereka menyatu dalam sebuah mimpi yang berwarna abu-abu.

oleh: Vey
(dedicated to Andi Bowie & his fuckin’ “Great Adventures )
A.J.V. Maret, 2002

0 komentar:

Posting Komentar

Saran dan kritik merupakan dorongan bagi kami untuk selalu berupaya ada. Silahkan berkomentar, jangan lupa kasih nama dan alamat, hanya yang meninggalkan identitaslah kami akan merespon.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost